Selasa, 02 Desember 2008

Pengobatan Tuberkulosis Paru Masih Menjadi Masalah?

Gizi.net - Penyakitnya Sudah Ada Seratus Tahun Lalu
Sebenarnya membicarakan mengenai pengobatan penyakit tuberkulosis paru zaman sekarang ini sudah semestinya tidak menjadi masalah lagi. Bila kita lihat dari penyebab penyakit ini sudah dapat diketahui dengan pasti, sebagai sarana penunjang diagnostiknya sudah ada, bahkan obatnya yang ampuh pun sudah ada, apalagi mengenai dokternya kalau boleh dikatakan sudah berlebihan bahkan mungkin banyak yang tidak mendapat penempatan di puskesmas-puskesmas. Akan tetapi bila kita melihat realitas yang ada membuktikan bahwa pengobatan tuberkulosis tidaklah semudah yang diperkirakan.

Mengapa? Karena ternyata banyak faktor yang harus diperhatikan yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, seperti lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta keteraturan penderita untuk berobat, daya tahan tubuh, juga faktor sosial ekonomi penderita yang tidak kalah pentingnya.

Penyakit tuberkulosis (TB) sudah lebih dari 100 tahun yang lalu ada di permukaan bumi kita ini. Dapat diketahui antara lain seperti yang tampak pada tulang-tulang belakang (vertebra) manusia di Eropa, juga mumi-mumi di Arab yang dapat diperkirakan dari sekitar tahun 3800 SM, penemuan tersebut merupakan peninggalan tertua penyakit ini. Di Indonesia, penyakit ini pun sudah lama ada, dapat diketahui dari salah satu relief di candi Borobudur, yang tampaknya menggambarkan suatu kasus tuberkulosis. Berarti pada masa itu (tahun 750 sesudah Masehi) orang sudah mengenal penyakit ini ada di antara mereka.

Abad ke-19 merupakan abad ketika banyak terdapat penemuan ilmiah termasuk konsep penyakit tuberkulosis. Penemuan basil TB oleh Robert Koch merupakan puncak kemajuan dari penyakit ini di abad ke-19. Penemuan tersebut dilaporkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan dipublikasikan di majalah Berliner Klinische Wochenchrift pada hari Senin, 10 April 1882. Berbagai cara telah dilakukan oleh para ahli untuk mengobati penyakit ini, seperti perawatan di sanatorium misalnya yang pernah amat popular pada awal abad ini, yang kemudian diikuti dengan berbagai tehnik lainnya.

Sejak tahun 1940-an mulai diperkenalkan obat antituberkulosis (OAT) yang sekarang ini dipakai secara luas. Enam puluh tahun setelah penemuan basil TB, dimulailah era baru pengobatan tuberkulosis dengan diperkenalkannya streptomisin yang kemudian disusul dengan PAS di tahun 1947 dan INH di tahun 1952.

Sedangkan rifampisin mulai diper-kenalkan pada tahun 1967 yang saat ini dipakai secara luas pada pengobatan jangka pendek tuberkulosis paru bersama dengan OAT lainnya. Walaupun basil penyebab tuberkulosis telah ditemukan sejak lama namun sampai sekarang ini tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia ini yang semakin memerlukan perhatian dalam penanganannya.

Badan Kesehatan Dunia/WHO (World Health Organization) memperkirakan dewasa ini terdapat sekitar 1700 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (dari hasil uji tuberculin positif) dari jumlah tersebut ada 4 juta penderita baru dengan basil tahan asam (BTA) positif ditambah lagi 4 juta penderita baru dengan BTA negatif. Jumlah seluruh penderita TB di dunia sekitar 20 juta orang dengan angka kematian sebanyak 3 juta orang tiap tahunnya yang mana merupakan 25 persen dari kematian yang dapat dicegah apabila TB dapat ditanggulangi dengan baik.

Di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 450.000 kasus TB paru. Tiga per empat dari kasus TB ini terdiri dari usia produktif (15 - 49 tahun), separonya tidak terdiagnosis dan baru sebagian yang tercakup dalam program penanggulangan TB sesuai dengan rekomendasi WHO.

Penemuan penderita dan pengobatannya merupakan suatu kunci penting dalam menangani tuberkulosis paru, oleh karena itu kedua fase ini haruslah ditangani dengan seksama. Proses penemuan penderita (case finding) tidaklah sesederhana sebagaimana kelihatannya. Melalui berbagai tahapan harus dijalani sampai ditemukannya satu orang penderita, mulai dari jenis gejala yang timbul sampai ke mana penderita pergi berobat untuk mengatasi gejala tersebut.

Direct Observe Treatment, Short-Cource (DOTS) merupakan strategi penanganan TB yang direkomendasikan WHO yang sudah teruji keampuhannya di berbagai negara dalam mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB, baik sebagai kasus per individu maupun bentuk komuniti dalam program nasional.

Sampai saat ini di Indonesia tampaknya belum semua pihak terkait memahami secara utuh mengenai apa itu DOTS serta bagaimana pelaksanaannya. Secara umum DOTS memang lebih mengarah ke suatu program yang bersifat nasional, namun bila disimak dari uraian kata DOTS itu sendiri, pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui pemeriksaan mikroskopik.

Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed) dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang pengawas, dan inilah yang dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT). Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam sistem pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (short cource) sesuai dengan klasifikasi dan tipe masing-masing kasus. Harus disertai sistem evaluasi yang dapat menilai hasil-hasil pengobatan kasus per kasus maupun penampilan program secara keseluruhan, yaitu dalam bentuk pencatatan dan pelaporan yang baku dan seragam. Paling penting lagi adalah adanya dukungan atau kesepakatan (komitmen) dari berbagai pihak untuk menjadikan strategi sebagaimana diuraikan di atas menjadi prioritas dalam penatalaksanaan TB.

Diagnosis

Dalam konteks diagnosis TB dalam strategi DOTS hanya akan dibicarakan peranan pemeriksaan hapusan dahak mikroskopis langsung yang merupakan metode diagnosis standar. Pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi basil tahan asam (BTA) yang memegang peranan utama dalam diagnosis TB paru.

Selain tidak memerlukan biaya mahal, cepat, mudah dilakukan, akurat, pemeriksaan mikroskopis merupakan teknologi diagnostik yang paling sesuai karena mengindikasikan drajat penularan,risiko kematian serta prioritas pengobatan. Dengan menggunakan kultur sebagai golden standard, sensitivity hapusan BTA dari spesimen yang berasal dari berbagai tempat/organ dengan berbagai tingkat penyakit berkisar 22-78 persen. Telah dibuktikan bahwa identifikasi BTA melalui 3 kali pemeriksaan hapusan langsung memberikan hasil yang optimal. WHO merekomendasikan untuk identifikasi BTA pada penderita suspek TB diperlukan 3 X pengambilan spesimen. Program P2TB Depkes (mengadopsi WHO) merekomendasikan tiga spesimen dahak sebaiknya sudah terkumpul dalam dua hari kunjungan pertama yaitu dengan cara: Spot (sputum sewaktu saat kunjungan), morning (sputum keesokan harinya) dan spot (pada saat mengantarkan sputum pagi) atau dikenal dengan istilah SPS (sewaktu, pagi, sewaktu).


Klasifikasi

Mengenai klasifikasi penyakit tuberkulosis ini sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu Tuberkulosis paru dan Tuberkulosis ekstra paru. Yang dimaksud dengan yang pertama adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. Berdasarkan hasil 3 kali pemeriksaan dahak, radiologis atau kultur M. tuberkulosis,TB paru ini masih dapat dibagi menjadi TB paru BTA positif dan TB paru BTA negatif. Sedangkan yang kedua dimaksudkan adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru (misalnya selaput otak, kelenjar limfe, pleura, pericardium, persendian, tulang, kulit, usus, saluran kemih, ginjal, alat kelamin dll). Berdasarkan tingkat keparahannya, Tb ekstra paru ini dibagi menjadi TB ekstra paru berat (severe) dan TB ekstra paru ringan (not/less severe), yang mana bentuk kelainan berkaitan dengan bentuk keparahan.

Selain itu tipe penderitanya pun masih dapat dibedakan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu Kasus Baru, Kasus Kambuh (Relaps), Gagal Pengobatan (Treatment Failure), Kasus Berobat Setelah Lalai (Pengobatan Setelah Default/Drop Out), Kasus Pindahan (Transfer In) dan Kasus Kronik.

Tujuan pengobatan pada penderita TB bukanlah sekedar memberikan obat. Dalam strategi DOTS diupayakan agar penderita yang telah menerima obat/resep obat untuk selanjutnya tetap membeli/mengambil obat, minum obat secara teratur, kembali kontrol untuk menilai hasil pengobatan. Dengan strategi DOTS, maka tujuan pengobatan yang sesungguhnya dapat dipenuhi yaitu menyembuhkan, mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau timbulnya resistensi terhadap OAT dan memutuskan rantai penularan.

Berdasarkan berbagai pertimbangan, WHO merekomendasikan paduan obat harus sesuai dengan kategori penyakit yaitu kategori yang didasarkan atas kasus yang dijelaskan diatas. Sehingga penderita TB dapatlah dibagi dalam 4 kategori yaitu:


Kategori I:

Kasus baru dengan dahak positif dan penderita dengan keadaan yang seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral, spondilitis dengan gangguan neurologik, penderita dengan dahak negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran kemih


Kategori II:

Kasus kambuh atau gagal dengan dahak tetap positif


Kategori III:

Kasus dengan dahak negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB diluar paru selain dari yang disebut dalam kategori I


Kategori IV:

Adapun obat-obat anti TB yang ada sekarang digolongkan dalam dua jenis yaitu bakterisidal dan bakteriostatik. Termasuk dalam golongan bakterisidal adalah isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), streptomisin (S). Sedangkan etambutol (E) termasuk golongan bakteriostatik. Kelima obat tersebut diatas termasuk obat anti TB utama (first-line Antituberculosis Drugs). Yang termasuk dalam OAT sekunder (second Antituberculosis Drugs) adalah Para-aminosalicylic Acid (PAS), ethionamid, sikloserin, kanamisin dan kapreomisin. Obat anti TB sekunder ini selain kurang efektif juga lebih toksik, sehingga kurang dipakai lagi.


Tujuan Pengobatan

Bagaimanapun baiknya OAT yang akan diberikan, bila tidak sampai ke tangan penderita dan diminum secara benar, maka tujuan pengobatan akan masih jauh dicapai. Sebagai treatment observer atau dalam program nasional dikenal sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) bisa petugas kesehatan, anggota LSM atau anggota keluarga sendiri.

Evaluasi bakteriologik sangat perlu dilakukan pada penderita dengan dahak mikroskopik positif. Evaluasi dilakukan pada saat sebelum pengobatan dimulai, pada akhir fase intensif, pada satu bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan. Bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak serta menentukan tindak lanjut.

Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi adanya efek samping obat. Keteraturan berobat yaitu diminum tidaknya obat-obat tersebut penting karena ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. Karena semua tatalaksana yang telah dilakukan dengan baik akan menjadi sia-sia, bila tanpa disertai dengan sistem evaluasi yang baik pula. Oleh karena itu peranan pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat sangat penting.

Jadi pengobatan TB sekarang ini tidak dapat lepas dari program TB nasional terutama dengan strategi DOTSnya. Bagaimanapun seorang klinisi tetap merupakan bagian integral dari program TB nasional. Komitmen politis sebagai komponen pertama strategi DOTS merupakan kunci utama.

0 komentar: